Pegiat Kratom Merasa ‘Dibunuh’

0
170
Albertus Anton, salah satu petani asal Kecamatan Pengkadan, Kapuas Hulu, yang mengandalkan kratom sebagai sumber mata pencarian utama. Dia adalah satu di antara ratusan ribu petani kratom asal Kalbar yang menggantungkan hidup dari tanaman tersebut. Dokumen Pribadi
Dijual Rumah

Pontianak, buktipers.com – Pegiat tanaman kratom resah, menyusul keluarnya pernyataan sikap Badan Narkotika Nasional (BNN) yang tertuang dalam surat nomor B/3985/X/KA/PL.02/2019/BNN. Surat yang intinya menggolongkan kratom sebagai narkotika itu, ditandatangani Kepala BNN RI, Heru Winarko, pada 31 Oktober 2019 lalu. Seluruh pegiat kratom, mulai dari petani, pengepul, sampai eksportir serta pihak-pihak terkait lainnya merasa ‘dibunuh’.

“Saya menyayangkan sikap BNN untuk tetap berusaha memasukkan kratom ini dalam jenis narkotika golongan I. Secara nyata, BNN mematikan masyarakat petani yang saat ini menanam kratom hingga puluhan juta pokok,” ungkap Albertus Anton, Ketua Koperasi Produsen Anugerah Bumi Hijau (Koprabuh) Hayati Borneo, Senin (4/11). Koprabuh diketahui merupakan koperasi yang mewadahi ribuan petani kratom.

Albertus yang merupakan petani kratom asal Kecamatan Pengkadan, Kapuas Hulu, menyatakan, selama ini masyarakat telah merasakan manfaat kratom, baik secara ekonomi, medis, maupun ekologi. Bahkan, kata dia, negara juga sudah mendapatkan devisa dari aktivitas perdagangan komoditas daun purik tersebut.

Mewakili petani, pihaknya menantang BNN untuk menunjukkan data, serta hasil penelitian yang menyebutkan bahwa kratom berbahaya dan layak masuk dalam kategori narkotika golongan I.

“Apakah BNN itu punya data, berapa orang yang kecanduan kratom, ada berapa yang mati karena kratom. Kalau ada datanya yang valid, kajian, penelitiannya silakan, saya dukung kratom itu dilarang. Tetapi kalau mereka tidak punya data, jangan coba-coba larang. Mereka berhadapan dengan masyarakat,” tegasnya.

Pernyataan sikap dari lembaga negara tersebut, dinilai telah membuat petani khawatir terhadap eksistensi mata pencaharian mereka. Saat ini ada ratusan ribu pegiat kratom yang mengandalkan komoditas tersebut untuk menopang perekonomian mereka. Terlebih lagi bagi petani di Kapuas Hulu. Sudah tidak ada lagi komoditas yang dapat diandalkan mereka selain kratom.

Sebelumnya, dalam surat nomor B/3985/X/KA/PL.02/2019/BNN dinyatakan bahwa tanaman dengan nama latin mytragyna speciosa itu masuk ke dalam daftar bahan yang dilarang digunakan dalam suplemen makanan dan obat tradisional. Kratom juga dianggap mengandung senyawa yang berbahaya bagi kesehatan.

Selain itu, BNN juga menyebutkan, kratom mengandung 7-HO-mitragynine yang memiliki efek 13 kali kekuatan morfin yang dapat menimbulkan withdrawal symptoms (adiksi), depresi, gangguan pernafasan serta kematian.

Masih dalam surat itu, BNN dengan tegas menyatakan sikap mendukung keputusan komite nasional perubahan penggolongan narkotika dan psikotropika yang mengklasifikasikan kratom sebagai narkotika golongan I yang tidak diperbolehkan dipergunakan dalam medis, dengan masa transisi lima tahun.

Sementara itu, organisasi Pengusaha Kratom Indonesia atau Pekrindo juga mempersoalkan surat BNN. Gusti Ikhsan, salah satu anggotanya menyayangkan sikap tertulis tersebut. Menurutnya, pernyataan sikap itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 44 Tahun 2019 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.

“Padahal Permenkes tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU Narkotika di negara kita ini. Saat ini kratom memiliki kepastian hukum bukanlah narkotika. Jangan sampai ada interpretasi hukum yang berbeda. Nanti malah membuat gaduh dan resah. Kasihan 300 ribuan para petani dan pekerja industri ini di Kalbar,” jelasnya.

Dalam Permenkes tersebut, diketahui bahwa tanaman mytragyna speciosa tidak tercantum dalam narkotika golongan I, golongan II, maupun golongan III. Menurutnya, Permenkes yang ditandatangani pada 17 Oktober 2019 itu telah mendinginkan suasana karena memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi industri komoditas tersebut.

“Namun, beberapa hari terakhir ini kembali memanas dengan beredarnya surat dengan kop dan cap BNN. Surat ini telah membuat resah kami para pelaku usaha. Bagaimana mungkin sikap antara regulator dan aparat penegak hukum bisa saling bertentangan. Yang menjadi korban adalah kami dengan kebingungan dan kegaduhan hukum yang tercipta akan permasalahan ini,” ucapnya.

Pihaknya juga memprotes pernyataan BNN yang menyatakan kratom lebih kuat berkali-kali lipat dari morfin. Pihaknya meminta penjelasan atas klaim tersebut dengan lebih memerinci maksud, sumber informasi dan kajian ilmiah, supaya dapat dipertanggung jawabkan secara jelas dan logis.

“Secara sosial kemasyarakatan, kratom bukanlah bencana nasional baik di negara importir maupun eksportir. Malah sebaliknya, kratom menjadi penyelamat kehidupan puluhan juta individu di planet ini. Mari kita duduk bersama dan membicarakannya dengan kedewasaan dan kejernihan berpikir,” pungkasnya.

Ketua Pekrindo, Yosep meminta supaya BNN bertindak atau membuat pernyataan sesuai fakta di lapangan, data, dan riset. Menurutnya, selama ini, kajian yang dipengang oleh BNN sebagai dasar untuk menjadikan kratom sebagai narkotika golongan satu sangatlah lemah. Padahal, kata dia, Kemenkes sudah melakukan penelitian empiris di Kalbar, yang mana hasilnya menunjukkan bahwa kratom tidak berbahaya.

“Hal ini dibuktikan dengan Permenkes Nomor 44 tahun 2019. Di situ, kratom tidak tergolong sebagai golongan 1 atau narkotika,” ujarnya.  Seharusnya, kata Yosep, Permenkes Nomor 44 tahun 2019 tersebut sudah final. Dia meyakini belum ada uji klinis terkait dampak negatif kratom. “Jadi, sebenarnya tidak perlu bawa muter-muter lagi terkait status kratom,” pungkasnya.

 

Sumber : Pontianak Post