Perjalanan Kasus Eks Menpora Imam Nahrawi hingga Divonis 7 Tahun Penjara

0
48
Imam Nahrawi (Foto: Ari Saputra)
Dijual Rumah

Jakarta, buktipers.com – Rangkaian persidangan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi berakhir. Imam divonis 7 tahun bui.

Sidang putusan Imam awalnya disampaikan jaksa KPK Budhi Sarumpaet. “Iya hari ini sidang putusan,” kata jaksa KPK Budhi Sarumpaet kepada wartawan, Senin (28/6/2020).

KPK berharap majelis hakim memvonis mantan Menpora itu sebagaimana amar tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU).

“KPK tentu berharap majelis hakim akan mempertimbangkan seluruh fakta hukum sebagaimana uraian analisis yuridis JPU KPK dalam tuntutannya. Dan kemudian menyatakan terdakwa bersalah dengan hukuman sebagaimana amar tuntutan JPU yang sudah dibacakan dan diserahkan di persidangan,” kata Plt Jubir KPK Ali Fikri kepada wartawan, Senin (29/6).

Tim penasehat hukum Imam Nahrawi berharap hakim memberikan vonis bebas dalam putusan nanti. Mereka menyebut kliennya hanya menjadi korban persekongkolan jahat.

“Kami berharap majelis hakim memutuskan bebas atau lepas dari tuntutan, karena saudara Menpora Imam Nahrawi tidak tahu menahu perkara yang didakwakan kepada yang bersangkutan,” ujar kuasa hukum Imam, Samsul Huda, Minggu (29/6) malam.

Sidang akhirnya digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakpus, Senin (29/6/2020).

Majelis hakim menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara kepada Imam katenab dinyatakan bersalah menerima suap dan gratifikasi bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp. 400 juta (subsider 3 bulan kurungan),” kata ketua majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakpus, Senin (29/6/2020).

Hakim menyatakan Imam Nahrawi terbukti menerima suap dan gratifikasi. Hakim juga mencabut hak politik Imam selama 4 tahun.

Berikut perjalanan kasus Imam Nahrawi hingga divonis tahun penjara:

OTT KPK Terhadap Pejabat Kemenpora

Berawal dari OTT KPK yang digelar pada 18 Desember 2018, dugaan suap dan gratifikasi yang diterima Imam terkuak. Dalam OTT tersebut lebih dari 5 orang yang ditangkap.

Selain pejabat Kemenpora, terdapat pengurus KONI yang juga diringkus. Pejabat Kemenpora yang ditangkap termasuk Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana.

“Ada sembilan orang (yang ditangkap),” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada detikcom, Selasa 18 Desember 2018.

Berdasar dari OTT tersebut, KPK kemudian menetapkan 5 orang tersangka. Ada Mulyana, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara KONI Johnny E Awuy, pejabat pembuat komitmen pada Kemenpora Adhi Purnomo dan staf di Kemenpora Eko Triyanto.

Ditetapkan Sebagai Tersangka

Setelah KPK menyelesaikan proses penyidikan terhadap 5 tersangka pertama, kasus dugaan korupsi terkait dana hibah KONI dari Kemenpora pada 2018 naik ke ‘meja hijau’. Dari sini lah sedikit demi sedikit dugaan suap dan gratifikasi yang diterima Imam terkuak.

Singkat cerita, berselang hampir satu minggu setelah Mulyana divonis bersalah menerima suap dari Ending, KPK menetapkan Imam sebagai tersangka. Imam diduga menerima suap sebesar Rp 26,5 miliar secara bertahap sejak 2014 hingga 2018.

Selain itu, KPK juga menetapkan Miftahul Ulum sebagai tersangka. Ulum merupakan asisten pribadi Menpora.

“Dalam penyidikan tersebut ditetapkan 2 orang tersangka, yaitu IMR (Imam Nahrawi) dan MIU (Miftahul Ulum),” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu 18 September 2019.

Pada hari yang sama, Imam mengundurkan diri sebagai Menpora. Dia mengaku siap menghadapi kasus dugaan suap hibah KONI.

“Tentu pada saatnya itu harus kita buktikan bersama-sama karena saya tidak seperti yang dituduhkan dan kita akan ikuti nanti seperti apa proses yang ada di pengadilan,” beber Imam di rumah dinas Menpora, Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan.

Gugatan Praperadilan Imam Nahrawi Kandas

Tak merasa seperti yang dituduhkan KPK, Imam mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka yang dilakukan KPK kepadanya. Namun, gugatan tersebut kandas.

Hakim menyatakan proses penetapan tersangka, penyidikan, dan penahanan yang dilakukan KPK sudah sesuai prosedur. Status tersangka Imam di KPK pun tidak menyalahi prosedur hukum.

“Menolak praperadilan pemohon untuk seluruhnya,” ucap hakim tunggal Elfian saat membacakan putusan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Selasa 12 November 2019.

Didakwa Terima Uang Rp 11,5 Miliar

Imam didakwa menerima uang Rp 11,5 miliar. Penerimaan uang tersebut untuk mempercepat persetujuan dana hibah KONI ke Kemenpora.

“Terdakwa bersama-sama dengan Miftahul Ulum telah menerima hadiah berupa uang seluruhnya sejumlah Rp 11.500.000.000 dari Ending Fuad Hamidy selaku Sekretaris Jenderal KONI dan Johnny E Awuy selaku Bendahara Umum KONI,” kata jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020).

Perbuatan Imam dilakukan bersama-sama dengan Asisten Pribadi Menpora Miftahul Ulum. Imam dan Ulum dan Imam Nahrawi menerima uang dari eks Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan eks Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy.

Jaksa menyebut Imam Nahrawi menerima uang melalui Miftahul Ulum terkait proposal dana hibah pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional Asian Games dan Asian Para Games 2018. sulan dana yang diajukan dalam proposal itu sejumlah Rp 51,5 miliar.

Untuk mempercepat proses pencairan dana hibah oleh Kemenpora, Mulyana selaku Deputi IV Kemenpora meminta Ending berkoordinasi Ulum terkait komitmen fee yang harus diberikan oleh KONI Pusat kepada pihak Kemenpora. Menindaklanjuti permintaan itu, Ending bertemu Ulum membahas komitmen fee untuk pihak Kemenpora kurang lebih sebesar 15%-19% dari total dana hibah itu.

Dalam pertemuan itu, Ulum memberikan catatan pihak-pihak dari Kemenpora yang akan diberikan jatah uang komitmen fee dalam secarik kertas tisu, di mana disalin Ending dalam secarik kertas.

“Sebagai realisasi atas kesepakatan tersebut, sekitar akhir bulan Januari 2018, bertempat di ruangan kerja Ending Fuad Hamidy di kantor KONI Pusat, terdakwa menerima sebagian uang fee sejumlah Rp 500 juta dari Ending Fuad Hamidy untuk Imam Nahrawi,” kata jaksa.

Atas pengajuan proposal itu, jaksa menyebut Imam memberikan disposisi kepada Mulyana untuk ditelaah dan dilanjutkan kepada Asisten Deputi Olahraga dan Prestasi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan tim Verifikasi untuk dilakukan penelitian layak tidaknya diberikan bantuan dana kepada KONI. Selain itu, Imam juga mendisposisi proposal itu kepada Ulum.

Pada Maret 2018, Ulum kembali menerima uang Rp 2 miliar dari Ending di Kantor KONI. Setelah itu, Kemenpora menyetujui dana hibah yang diberikan Rp 30 miliar dari yang diajukan KONI sebesar Rp 51,5 miliar.

Usai proposal dana hibah itu disetujui dan dicairkan ke KONI , jaksa menyebut Ending Fuad menyerahkan Rp 9 miliar untuk Imam Nahrawi melalui Ulum. Berikut rinciannya yang disebut jaksa:

1).Uang sejumlah Rp 3.000.000.000 diberikan oleh Johnny E Awuy kepada orang suruhan Ulum, Arief Susanto di kantor KONI Pusat.

2).Uang sejumlah Rp 3.000.000.000 yang ditukar dolar USD 71,400 dan SGD 189,000 diberikan oleh Ending Fuad melalui Atam kepada Ulum di Lapangan Golf Senayan.

3).Uang sejumlah Rp 3.000.000.000 yang dimasukkan dalam amplop-amplop coklat dan dimasukkan dalam beberapa kardus kertas A4 diberikan oleh Ending Fuad kepada Ulum di Lapangan Bulu Tangkis Kompleks Kemenpora.

“Selain itu sekitar bulan Juni 2018, Mulyana juga menerima bagian fee Rp 300 juta dari Ending Fuad Hamidy melalui Johnny E Awuy di Kemenpora. Selain uang Mulyana juga menerima mobil Toyota Fortuner VRZ TRD warna Hitam Metalik seharga Rp 489.800.000 dari Ending Fuad Hamidy,” tutur jaksa.

Untuk proposal dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi Tahun 2018. KONI mengusulkan usulan dana Rp 16,4 miliar dan kemudian perbaikan usulan dana menjadi Rp 21 miliar.

Atas pengajuan proposal itu, jaksa menyebut Imam memberikan disposisi kepada Mulyana untuk ditelaah dan dilanjutkan kepada Asisten Deputi Olahraga dan Prestasi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan tim Verifikasi untuk dilakukan penelitian layak tidaknya diberikan bantuan dana kepada KONI. Selain itu, Imam juga mendisposisi proposal itu kepada Ulum.

Usai proposal disetujui Rp 17 miliar, Ulum bertemu Ending Fuad di Kemenpora. Dalam pertemuan itu membahas penerimaan komitmen fee yang ditulis sebuah kertas.

“Yang mana dalam daftar tersebut diantaranya tertulis inisial “M” yaitu Menteri (atau terdakwa) sejumlah Rp 1.500.000.000, “Ul” yaitu ULUM sejumlah Rp 500.000.000, “Mly” yaitu Mulyana sejumlah Rp 400.000.000, “AP” yaitu Adhi Purnomo, sejumlah Rp250.000.000, dan “Ek” yaitu Eko Triyanta Rp 20.000.000,” jelas jaksa.

Namun Ending belum menyerahkan fee tersebut karena sudah ditangkap oleh KPK. Ending dan Johnny ditangkap oleh KPK saat memberikan uang Rp 100 kepada Mulyana.

Atas perbuatan itu, Imam didakwa bersalah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Tipikor Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Didakwa Terima Gratifikasi Rp 8,6 Miliar

Imam juga didakwa menerima gratifikasi Rp 8,6 miliar. Uang gratifikasi itu berasal dari Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy hingga anggaran Satlak Prima.

“Telah menerima gratifikasi berupa uang yang seluruhnya sejumlah total Rp 8.648.435.682,” kata jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020).

Perbuatan Imam dilakukan bersama-sama dengan Asisten Pribadi Menpora Miftahul Ulum. Berikut ini penerimaan gratifikasi Imam Nahrawi yang dibacakan jaksa:

– Senilai Rp 300.000.000 dari mantan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy untuk kegiatan Imam dalam acara Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur.

– Senilai Rp 4.948.435.682 sebagai uang tambahan operasional Menpora dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora periode 2015-2016.

– Sebesar Rp 2.000.000.000 sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora periode 2015-2016.

– Sebesar Rp 1.000.000.000 dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima Kemenpora RI Tahun Anggaran 2016-2017.

– Sebesar Rp 400.000.000 dari Supriyono selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode tahun 2017-2018.

“Imam Nahrawi selaku Menpora menerima gratifikasi yang seluruhnya sejumlah Rp 8.648.435.682 melalui Mifathul Ulum, Imam Nahrawi tidak pernah melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai dengan batas waktu 30 (tiga puluh) hari,” jelas jaksa.

Akibat perbuatan itu, Imam Nahrawi didakwa bersalah melanggar Pasal 12B UU Tipikor Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) junctoPasal 64 ayat 1 KUHP.

Jaksa KPK menyebut mantan Menpora Imam Nahrawi menerima gratifikasi Rp 8,6 miliar. Sebagian di antaranya yaitu sekitar Rp 2 miliar disebut dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora periode tahun 2015-2016 yang digunakan untuk membayar desain rumah milik Imam Nahrawi.

Awalnya jaksa mengatakan Dadank I Sarjani mengenalkan istri Imam Nahrawi bernama Shobibah Rohmah kepada Budiyanto Pradono dan Intan Kusuma Dewi dari kantor Budipradono Architecs. Dalam pertemuan itu, Shobibah berminat untuk menggunakan jasa Kantor Budipradono Architecs untuk mendesain rumah milik Imam.

“Dalam pertemuan itu dibicarakan bahwa Shobibah Rohmah berminat untuk menggunakan jasa Kantor Budipradono Architecs untuk mendesain rumah milik Imam Nahrawi,” demikian tertulis dalam surat dakwaan yang telah dibacakan sebagian dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020). Dalam persidangan, majelis hakim yang mengadili Imam meminta jaksa tidak membacakan rincian gratifikasi yang didakwakan pada mantan Menpora itu.

Selanjutnya pertemuan juga dilakukan di rumah Dinas Menpora Jalan Widya Candra, Jakarta Selatan, yang dihadiri Imam Nahrawi, Asisten Pribadi Menpora Miftahul Ulum, Shobibah, Budiyanto dan Intan. Dalam pertemuan itu Shobibah setuju rencana pembuatan desain di Jalan Manunggal II, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur.

“Selanjutnya pada tanggal 9 Juli 2015, ditandatangani Surat Perjanjian Pekerjaan Jasa Konsultan Arsitek Untuk Desain Arsitektur Rumah di Ceger, Jakarta Timur (019/BPA 1507/agr) antara Shobibah Rohmah dan Budiyanto Pradono dengan nilai kontrak sejumlah Rp 700.000.000, dimana pembayaran dilakukan berdasarkan tahapan pekerjaan,” jelas jaksa.

Pada September 2016 dilakukan pertemuan kembali, yang dihadiri Imam, Ulum, Shobibah, dan Intan di rumah dinas Menpora. Dalam pertemuan itu, Shobibah meminta dibuatkan desain interior butik dan café dengan alamat di Jalan Benda Raya No. 54C Kemang, Jakarta Selatan.

Anggaran biaya desain interior tersebut membutuhkan dana Rp 390 juta. Namun, terhadap pengerjaan desain interior itu tidak dituangkan dalam kontrak karena didasarkan saling percaya.

Atas desain rumah dan butik tersebut, jaksa menyebut Ulum menghubungi Lina meminta sejumlah uang Rp 2 miliar untuk membayar ‘Omah Bapak’ maksudnya yaitu rumah milik Imam Nahrawi. Atas permintaan tersebut, Lina sempat menolak, namun karena desakan Lina menyiapkan Rp 2 miliar yang berasal dari dana akomodasi atlit pada anggaran Satlak Prima.

“Pada tanggal 12 Oktober 2016, Alverino Kurnia (Staf Lina) menyerahkan uang sejumlah Rp 2.000.000.000 kepada Intan Kusuma Dewi di kantor Budipradono Architecs yang kemudian Intan Kusuma Dewi menandatangani bukti tanda terima uang tersebut untuk pembayaran jasa desain Arsitek rumah milik Imam Nahrawi,” papar jaksa.

Pada Mei 2019, jaksa menyebut Shobibah meminta desain kembali rumah yang terletak di Jalan Pembangunan, Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, dengan luas tanah ± 3022 M2. Atas permintaan tersebut, tim Kantor Budipradono Architects melakukan cek lokasi yang rencananya akan dibangun asrama untuk santri, pendopo dan lapangan bulu tangkis.

Biaya desain rumah itu Rp 815.052.000, yang mana pembayaran menggunakan uang Rp 2 miliar yang sudah diantar di kantor Budipradono Architecs.

Yang mana pembayarannya juga menggunakan uang sejumlah Rp 2.000.000.000 yang sudah diterima oleh Kantor Budipradono Architecs,” ucap jaksa.

Dituntut 10 Tahun Penjara

Imam dituntut hukuman berupa pidana penjara selama 10 tahun. Imam dinilai terbukti menerima suap dan gratifikasi sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).

“Menyatakan terdakwa Imam Nahrawi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun serta pidana denda sejumlah Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan,” kata JPU saat membacakan tuntutannya dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Jumat (12/6/2020).

Tidak hanya pidana dan denda yang dituntut oleh jaksa kepada Imam. Dia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 19,1 miliar dalam waktu satu bulan.

“Jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terpidana disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terpidana tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 3 tahun,” turut jaksa.

Jaksa juga menuntut agar hak politik Imam dicabut selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok.

Jaksa menyebut Imam terbukti menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar bersama asisten pribadinya Miftahul Ulum. Suap itu ditujukan untuk mempercepat proses dana hibah KONI pada 2018.

Imam juga dianggap terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 8,64 miliar bersama Ulum yang diterima dari berbagai sumber. Ulum ditugaskan sebagai perantara antara Imam dengan pemberi gratifikasi.

Imam dianggap melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dia juga dianggap melanggar Pasal 12B ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Menurut jaksa, hal yang memberatkan Imam dalam perkara ini yaitu Imam menghambat perkembangan dan prestasi atlet Indonesia, serta tidak menjadi teladan sebagai pejabat publik. Sedangkan hal yang meringankan, Imam dianggap kooperatif selama proses sidang.

Dituntut Bayar Uang Pengganti RP 19,1 Miliar

Imam Nahrawi dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta dalam perkara suap dan gratifikasi yang menjeratnya. Jaksa juga meminta majelis hakim mewajibkan Imam membayar kerugian negara Rp 19,1 miliar.

“Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Imam Nahrawi untuk membayar uang pengganti kepada negara sejumlah 19.154.203.882 kepada KPK,” kata jaksa KPK saat membacakan tuntutan di PN Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Jumat (12/6/2020).

Pembayaran itu dilakukan paling lambat 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika uang pengganti tidak dibayarkan, KPK akan menyita dan melelang harta milik Imam.

“Jika dalam waktu tersebut tidak dibayar, harta benda terpidana disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Dalam hal terpidana tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 3 tahun,” ucap jaksa.

Bersumpah Tidak Nikmati Uang Suap

Imam membacakan pledoi atau nota pembelaan dalam perkara suap dan gratifikasi yang menjeratnya. Imam bersumpah tak menikmati sama sekali uang yang dituduhkan sebagai suap dan gratifikasi dalam dakwaan jaksa.

“Bahwa saya tidak tahu-menahu, tidak meminta, tidak memerintahkan, tidak menerima, dan bahkan demi Allah, demi Nabi Muhammad SAW, saya tidak terlibat dalam persekongkolan jahat itu,” kata Imam saat membacakan pleidoi lewat sambungan video yang terhubung ke PN Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakpus, Jumat (19/6/2020).

“Ke mana sebenarnya aliran duit Rp 11,5 miliar itu? Demi Allah, demi Rasulullah, saya tidak menikmati, Yang Mulia, walau satu rupiah pun dari dana Rp 11,5 miliar itu,” imbuhnya.

Imam juga meminta permohonan dirinya sebagai justice collaborator diterima oleh hakim. Dia berjanji akan membantu mengungkap aliran dana tersebut.

“Demi Allah, demi Rasulullah, saya akan membantu majelis hakim yang mulia, jaksa penuntut umum, dan KPK untuk mengungkap aliran dana Rp 11,5 miliar ini, dan saya mohon majelis hakim yang mulia, kabulkan saya sebagai justice collaborator untuk mengungkap Rp 11,5 miliar ini,” ujarnya.

Dia juga meminta hak politiknya tak dicabut sebagaimana tuntutan jaksa. Menurutnya, apa yang sudah dilakukannya tidak memperburuk prestasi olahraga nasional.

“Yang Mulia, izinkan saya berharap kepada Yang Mulia untuk tetap berkiprah di dunia politik, tidak dicabut hak politik saya. Karena sesungguhnya hal itu tidak mengganggu dan menurunkan prestasi olahraga nasional, tapi sebaliknya prestasi olahraga semakin meningkat tajam,” ujarnya.

Divonis 7 Tahun Penjara

Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara. Imam dinyatakan bersalah menerima suap dan gratifikasi bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp. 400 juta (subsider 3 bulan kurungan),” kata ketua majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakpus, Senin (29/6/2020).

Hakim menyatakan Imam Nahrawi terbukti menerima suap dan gratifikasi. Perbuatan Imam Nahrawi dinyatakan hakim bersalah.

“Menyatakan terdakwa Imam Nahrawi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana diatur pidana dalam dakwaan kesatu pertama dan dakwaan kedua,” kata ketua majelis hakim.

Diketahui, dalam kasus ini Imam Nahrawi sebelumnya dituntut jaksa KPK dengan hukuman 10 tahun serta pidana denda sejumlah Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 19,1 miliar dalam waktu satu bulan.

Jaksa juga menuntut agar hak politik Imam dicabut selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok. Jaksa menyebut Imam terbukti menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar bersama asisten pribadinya Miftahul Ulum. Suap itu ditujukan untuk mempercepat proses dana hibah KONI pada 2018.

Tak hanya itu, Imam juga dianggap terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 8,64 miliar bersama Ulum yang diterima dari berbagai sumber. Ulum ditugaskan sebagai perantara antara Imam dengan pemberi gratifikasi.

 

Sumber : detik.com