Rakyat Aceh Butuh Kesejahteraan, Bukan Simbol dan Lambang

0
1052
Amir Hasan Nazri Al-Mujahid.
Dijual Rumah

Buktiperscom – Aceh Tamiang (Aceh)

Lebih 14 tahun sudah kesepahaman damai Aceh telah  ditandatangani melalui  memorandum of understanding (MoU),  namun kesejahteraan rakyat Aceh, sepertinya masih jauh dari harapan dan cita – cita.

Padahal, MoU yang ditandangani di Helsinky, Finlandia, pada 15 Agustus 2015, lalu, seharusnya menjadi momentum kebangkitan Aceh, pasca konflik.

Hal itu diungkapkan Amir Hasan Nazri Al-Mujahid, salah seorang tokoh masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang, melalui pesan WhatsApp (WA), Jum’at (8/3/2019).

Melihat fenomena kekinian Aceh saat ini, tegasnya, Aceh butuh kesejahteraan, bukan simbol atau lambang semata.

“Kita selalu terjebak pada janji manis dan harapan palsu, kesejahteraan menjadi harapan yang tak kunjung tiba,” katanya

Sebaliknya, kebutuhan lambang dan simbol Aceh, malah diprioritaskan segelintir elit jelang tahun politik ini,” ujar Amir.

Menurut putra bungsu Almarhum Mayor Jenderal  Amir Husein Al-Mujahid itu, seharusnya kondisi Aceh pasca damai sudah harus sejahtera. Kesejahteraan sudah di depan mata, hanya saja, kita semua dibelenggu dengan persoalan simbolisme semata, katanya lagi.

Maksudnya, kata dia, segala daya hendaknya dipergunakan untuk membangun Aceh secara komprehensif dan tidak lagi disibukan, dengan memperdebatkan lambang atau simbol ke-Acehan yang sebenarnya belum menyentuh substansi kesejahteraan rakyat.

“Bendera Aceh, lambang, hymne dan lainnya penting. Tapi jauh lebih penting, mendongkrak perekonomian sehingga rakyat sejahtera,” ungkap Acang, sapaan akrab Amir Hasan Nazri.

Dia berharap kedepan,  pemangku kepentingan di tataran eksekutif dan legislatif Aceh, agar tidak lagi memperdebatkan simbolistik Aceh.  Akan tetapi bisa merajut kebersamaan dalam membangun Aceh yang  sejahtera, tandasnya.

Lebih lanjut, diungkapkan Amir,  para elit politik lokal Aceh, jangan lagi mengelukan simbol-simbol ke Acehan yang sebenarnya tidak dibutuhkan rakyat. Karena menurutnya, hal itu dikhawatirkan memicu memperkeruh suasana damai Aceh yang telah terbina selama ini.

“Ini tahun politik. Isu bendera dan simbol jangan lagi dijual. Jualanlah program, visi dan misi untuk membangun Aceh baru yang sejahtera atau New Aceh Sociaty,” tukas  cucu Raja Karang ini.

“Orang tua kami dahulu meninggalkan jabatan di pemerintahan, demi memperjuangkan hak-hak dan marwah Aceh. Bukan malah dengan alasan perjuangan, kemudian mendapatkan jabatan tertentu,” tutupnya.

(Tarmizi Puteh)